Tuhansemesta alam." (QS Al-Fatihah: 2) Para ahli tafsir mengatakan bahwa al-ẖamdu adalah al-tsanâ' (sanjungan) dengan lisan, tetapi dibatasi hanya untuk hal-hal yang baik. Kata tsanâ' bisa saja digunakan untuk memuji atau mencela. Kalimat atsnâ 'alaihi syarran (ia mencela kejelekan) boleh diucapkan, seperti juga kalimat atsnâ
The manuscript of Sirr al-Lathīf was Sufism text at early XX century, that proven the existence and dynamic of Sufism thought at Kalimantan, and Nusantara in general. The analysetrhe content of the text, this use Gadamer’s semiphilological hermeneutics analysis. The result of the researchs are firstly, the way verses of the Fatiha are believed in the text to be located in the body organs in human being, has been part of human being, explains that the text is not an interpretation but mystical the Fatiha. Secondly,the elaboration of the prayer sembahyang in the Sirral-Lathīf isunique and couldnpt be found in fiqh schools. He tried to relate the sembahyang as an union of God and slave. And thirdly, elaboration of insānkāmil the perfect man as representation of the perfectman, not different from concepts of script tend to use symbolization toovercomethe limitations ofverbalwordstoreveala Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, and insān kāmil. AbstrakNaskah Sirr al-Lathīf adalah naskah tasawuf pada awal abad XX yang menjadi bukti eksistensi dan dinamika pemikiran tasawuf di Kalimantan, dan Nusantara pada umumnya. Untuk mengkaji kandungan naskah digunakan teknik semi filologis dengan analisishermeneutika Gadamer. Adapun hasil penelitian ini adalah pertama, ayat-ayat surat alFatihah dipercayai terletak pada organ-organtubuh manusia, yang mengisyaratkan bahwa ia sudah built in dalam diri manusia. Dengan demikian, penjelasan ini bukanlah sebuah tafsir, melainkan mistisisasi surat al-Fatihah. Kedua, penjelasan sembahyang salat dalam naskah Sirr al-Lathīf mempunyai kekhasan yang tidak ditemukan dalam penjelasan fikih. Ia mencoba menghubungkan sembahyang sebagai penyatuan antara Tuhan dan hamba. Dan ketiga, penjelasan insān kāmil sebagai representasi dari manusia yang sempurna, tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep dari para sufi mainstream. Namun, naskah ini lebih banyak menggunakan simbolisasi untuk menggambarkan keterbatasan kata-kata verbal untuk mengungkapkan hubungan yang sangat intim tersebut. Kata kunci Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, dan insān kāmil. Figures - uploaded by Sulaiman SulaimanAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Sulaiman SulaimanContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman77AJARAN TASAWUF DALAM NASKAH SIRR AL-LATHĪF The sufi sm teaching in the Sirr Al-LathīfSULAIMANFakultas Ushuluddin IAIN Walisongo SemarangKampus II, Jl. Prof. Dr. Hamka Ngaliyan-SemarangTelp. 024 7601294e-mailalkumayi97 diterima 21 Januari 2014 Naskah direvisi 19-31 Mei 2014Naskah disetujui 18 Juni 2014ABSTRACTThe manuscript of Sirr al-Lathīf was Sufi sm text at early XX century, that proven the existence and dynamic of Sufi sm thought at Kalimantan, and Nusantara in general. The analysetrhe content of the text, this use Gadamer’s semiphilological hermeneutics analysis. The result of the researchs are fi rstly, the way verses of the Fatiha are believed in the text to be located in the body organs in human being, has been part of human being, explains that the text is not an interpretation but mystical the Fatiha. Secondly, the elaboration of the prayer sembahyang in the Sirral-Lathīf isunique and couldnpt be found in fi qh schools. He tried to relate the sembahyang as an union of God and slave. And thirdly, elaboration of insānkāmil the perfect man as representation of the perfect man, not different from concepts of mainstreamsufi .The script tend to use symbolization toovercomethe limitations ofverbalwordstoreveala Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, and insān Sirr al-Lathīf adalah naskah tasawuf pada awal abad XX yang menjadi bukti eksistensi dan dinamika pemikiran tasawuf di Kalimantan, dan Nusantara pada umumnya. Untuk mengkaji kandungan naskah digunakan teknik semi fi lologis dengan analisis hermeneutika Gadamer. Adapun hasil penelitian ini adalah pertama, ayat-ayat surat al-Fatihah dipercayai terletak pada organ-organ tubuh manusia, yang mengisyaratkan bahwa ia sudah built in dalam diri manusia. Dengan demikian, penjelasan ini bukanlah sebuah tafsir, melainkan mistisisasi surat al-Fatihah. Kedua, penjelasan sembahyang salat dalam naskah Sirr al-Lathīf mempunyai kekhasan yang tidak ditemukan dalam penjelasan fi kih. Ia mencoba menghubungkan sembahyang sebagai penyatuan antara Tuhan dan hamba. Dan ketiga, penjelasan insān kāmil sebagai representasi dari manusia yang sempurna, tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep dari para sufi mainstream. Namun, naskah ini lebih banyak menggunakan simbolisasi untuk menggambarkan keterbatasan kata-kata verbal untuk mengungkapkan hubungan yang sangat intim tersebut. Kata kunci Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, dan insān kāmil. Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9078PENDAHULUANNaskah tulisan tangan manuscript merupakan salah satu bentuk khazanah budaya, yang mengandung teks tertulis mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku masyarakat masa lalu. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk peninggalan budaya material non-tulisan di Indonesia, seperti candi, istana, masjid, dan lain-lain, jumlah peninggalan budaya dalam bentuk naskah jelas jauh lebih besar Fathurahman, 2008 17; Ikram, 1997 24. Naskah—yang sejauh ini masih sering diabaikan keberadaannya, dan hanya mendapatkan perhatian dari kelompok orang tertentu saja, khususnya para fi lolog dan pustakawan—sesungguhnya menyimpan makna dan dimensi yang sangat luas karena merupakan produk dari sebuah tradisi panjang yang melibatkan berbagai sikap budaya masyarakat dalam periode tertentu Fathurahman, 2008 17. Melalui naskah inilah, kita dapat menguak sejumlah informasi masa lampau mengenai berbagai segi kehidupan keagamaan, termasuk ajaran tasawuf Baried, 1994 11, yang merefl eksikan pemikiran yang sangat orisinil Hadi WM, 2001 3.Naskah-naskah lama yang berisi ajaran tasawuf tersebut menginformasikan bahwa kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan merupakan hasil dari proses akulturasi manusia Indonesia dengan peradaban Islam Sedyawati, 2000. Apalagi, diketahui bahwa sejak abad ke-13, bangsa Indonesia telah didatangi oleh para ulama sufi yang dalam proses penyebaran Islam banyak pula menghasilkan berbagai tulisan, yang kini tersimpan dalam bentuk naskah, menyangkut ajaran-ajaran tasawuf yang mereka sampaikan kepada masyarakat setempat Fathurahman, 2008 18; Azra, 1994 32. Salah satu naskah yang berisi ajaran tasawuf itu adalah Sirr al-Lathīf karya al-Haj Muhammad Yahya bin al-Haj Muhammad Thahir al-Banjari. Kehadiran naskah ini sekaligus menjadi bukti eksistensi dan dinamika pemikiran tasawuf di Kalimantan. Deskripsi Naskah Penulis menemukan naskah Sirr al-Lathīf pada 30 Juli 2008, dari seorang guru bernama Dimansyah, di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Menurut pengakuan Dimansyah, naskah ini diperolehnya dari Martapura Kalimantan Selatan. Secara fi sik, naskah ini berbentuk persegi panjang dan berwarna putih. Berbahan dasar dari kertas dengan ukuran 16 cm x 21 cm. Teks ditulis tangan dengan memakai tinta dawat biasa dikenal sebagai tinta Cina warna hitam dan menggunakan huruf Arab Melayu Jawi, dengan tebal 52 halaman. Di bagian sampul tertera nama penulis naskah, dan penyelesaian penulisannya pada tahun 1913. Naskah ini kemudian disalin oleh Bahrun bin Muhammad Dhaman, yang diselesaikannya pada 18 Rabi al-Awwal 1402 H/3 Januari 1983. Di bagian pendahuluan tertulis sebagai berikut“Bism Allāh al-Rahmān al-Rahīm. Inilah Kitāb Risālah Sirr al-Lathīf, pasuratan al-Haj Yahya bin al-Marhum al-Haj Muhammad Thahir Banjari yang disurat oleh beliau dalam bentuk pasuratan pada tahun 1913 M. Disalin dari Kitab aslinya kepunyaan cunda Hatta Jiddin bin Yahya. Tabuh Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan yang menyalin faqīr lagi haqīr Allāh Bahun bin Muhammad Dhaman. 18 Rabi al-Awwal 1402 H/3 Januari 1983.”Selain itu, dijelaskan pula alasan penulisan naskah. “....setelah menukil dari beberapa persuratan yang hampir-hampir sudah lanyap karena kurang gamarnya para saudara-saudaraku kaum Muslimin muslimat mempelajarinya. Selain daripada itu sesudah hamba mempelajarinya kepada guru kami yaitu Abdul Karim al-Hadi mulanya hal-hal hakikat dan marifat, maka hamba buatlah kesimpulan sebagaimana termuat dalam risalah ini yang kami namai Sirr al-Lathīf yakni risalah rahasia yang halus-halus. Harapan hamba semoga bermanfaat bagi ahlinya yang gemar mempelajari jalan syariat dan marifat.” Dengan menganalisis kata-kata “maka hamba buatlah kesimpulan” dari pernyataan di atas, dapat dipastikan bahwa naskah ini memang Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman79merupakan ringkasan dari beberapa kitab yang dibaca oleh penulisnya. Karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam uraiannya penulis sering kali menggunakan kata-kata yang ringkas dan kadang-kadang menggunakan simbol-simbol, sehingga perlu interpretasi agar dipahami maksud yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana dikatakan oleh penulisnya, naskah ini ditujukan kepada mereka yang “gemar”; maka yang dimaksud di sini adalah mereka yang berkemampuan khusus dalam jalan spiritual tasawuf. Bisa diduga bahwa mereka yang mempelajari naskah ini memang mereka yang sudah menjalankan syariat dengan benar, dan kemudian melanjutkan pencarian spiritual untuk menemukan hakikat diri dan Tuhan; atau mereka yang sudah mempunyai pemahaman yang baik tentang tasawuf dan sudah mempraktikkannya sehingga ajaran yang terkandung di dalamnya akan dengan mudah dipahami dan dijalankan. Penulis mencantumkan sejumlah nama yang menjadi rujukan dalam penyusunan naskahnya. Mereka adalah 1 Haji Muhammad Arsyad Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, 2 Haji Abdul Hamid Syekh Abdul Hamid Abulung, 3 Haji Muhammadullah, 4 Haji Abdul Ghafur, 5 Tuan Syarif Karim, yang telah mutamad-kan dengan Imam Syafi i rahmatullah dimusyawarahkan bersama dengan sebagaimana tercantum namanya di bawah ini Syekh Abdullah, Syekh Alassalam, Imam Ibnu Hajar, Imam Rahmadi, Imam Ghazali, Imam Nawawi, Imam Syafi i, Imam Subaqti, Imam Asyari, Imam Zurkani, Haji Muhammad Nur, dan Haji Jamal penghulu di Tenggarong pada tahun 1902. Tampaknya dengan memaparkan sejumlah nama tokoh—yang sebagian merupakan ulama-ulama yang sudah dikenal di dunia Islam—penulis ingin menegaskan bahwa ajaran yang terkandung dalam naskahnya ini bukanlah karangannya, melainkan bersumber dari para ulama otoritatif tersebut. Sistematika penulisan ajaran tasawuf dalam naskah ini dibagi dalam empat bagian; bagian pertama terdiri dari cover, kata pengantar, dan menguraikan tentang penjelasan mistis empat surah pokok QS. al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas h. 1-5; bagian kedua membahas tentang Nur Muhammad dan hakikat sembahyang. Di bagian ini uraiannya singkat dan penuh dengan gambar-gambar simbolik h. 6-11; bagian ketiga membahas tentang rahasia zikir h. 12-14; dan bagian keempat membahas tentang amal marifat yang di dalamnya berisi tentang hakikat diri dan Tuhan serta hubungan hamba dengan Tuhan, dan kemudian ditutup dengan uraian tentang al-haqīqah Muhamadiyah insān kāmil. Kajian terhadap naskah-naskah dengan tema sejenis dengan naskah Sirr al-Lathīf dapat dijumpai dari beberapa penelitian sebelumnya, antara lain Nurbini 1999 yang meneliti naskah Ajaran Ma’rifatullah Panglima Utar; lalu disusul oleh Sulaiman 2001 dengan naskah yang sama namun dengan analisis yang lebih mendalam. Dari segi isinya naskah Panglima Utar ini berbeda jauh dengan naskah Sirr al-Lathīf. Karena itu, kajian terhadap kandungan naskah ini memang perlu dilakukan sehingga terkuak ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. METODE PENELITIANMembaca Naskah Sirr al-LathīfDalam penelitian ini, peneliti menggunakan naskah tunggal, yakni Sirr al-Lathīf dengan meminjam teknik semi fi lologis. Merujuk pendapat Prof. Dr. Mudjahirin Thohir 2013, naskah ini haruslah dipahami sebagai sebuah produk budaya yang di dalamnya penuh dengan makna-makna simbolik yang perlu ditafsirkan untuk memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan ini, ketika tahapan dalam fi lologi itu terlampaui, atau zaman telah berubah, serta perhatian para fi lolog telah berkembang jauh, maka ilmu fi lologi juga diarahkan kepada bagaimana memahami isi naskah itu sendiri. Dalam konteks seperti ini, maka untuk memahami kandungan-kandungan teks dibutuhkan disiplin ilmu-ilmu lain, seperti linguistik, sastra, sosiologi, antropologi, semiotika, dan lain-lain. Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9080Dalam menangani naskah Sirr al-Lathīf ini, peneliti mengikuti saran Nabilah Lubis 1996 88-89. Nabilah Lubis menyarankan dalam menangani naskah tunggal, peneliti yang ingin mengedit naskah memiliki dua pilihan, yaitu mengadakan edisi diplomatik atau edisi standar. Edisi diplomatik ialah suatu cara mereproduksi teks sebagaimana adanya tanpa ada perbaikan atau perubahan dari editor. Model yang paling sesuai dengan ini adalah naskah direproduksi secara fotografi s. Hal ini penting, jika peneliti ingin menampilkan teks yang diperoleh persis sebagaimana adanya. Tetapi bagi pembaca modern, metode ini tidak memberikan informasi yang membantu dalam upaya memahami teks tersebut. Sedangkan dalam edisi standar, ada suatu usaha perbaikan dan meluruskan teks sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang timbul ketika proses penulisan. Tujuannya ialah untuk menghasilkan suatu edisi yang baru dan sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, misalnya, dengan mengadakan pembagian alenia-alenia, pungtuasi, huruf besar dan kecil, membuat penafsiran interpretation setiap bagian atau kata-kata yang perlu penjelasan, sehingga teks tampak mudah dipahami oleh pembaca modern. Sungguh pun demikian yang harus diingat bahwa editor harus bertanggung jawab terhadap semua perbaikan atau penafsiran yang diadakan, dan harus menyebut sumbernya; apakah berdasarkan kaedah gramatika, atau fakta sejarah, dan sebagainya. Berdasarkan saran Nabilah Lubis tersebut, pe-nelitian ini memilih edisi standar yang memung-kinkan peneliti untuk melakukan penafsiran terh-adap isi naskah Sirr al-Lathīf. Untuk melakukan penafsiran, peneliti merujuk pendapat Jacques Derrida. Dengan merujuk Derrida ini, naskah Sirr al-Lathīf diposisikan bukan bentuk artefak yang mati. Teks diposisikan sebagai sebuah proses yang terbuka terhadap segala kemungkinan. Teks yang terhenti pada sebuah pemaknaan tidak akan terbuka dan berkembang, karena ada kekuatan yang ada dalam sebuah teks, yaitu teks mempu-nyai watak yang terbuka dan jalin-menjalin, ter-hubung dengan teks-teks lain intertektualitas dan selalu berproses. Dari proses tanpa akhir dan tanpa tujuan inilah teleology dipahami sebagai teks yang mengarah ke depan yang tak terbatas dan tak mungkin untuk direalisasikan sepenuh-nya sekarang ini; teks yang bergerak dalam lin-tasan struktur yang terbuka pada masa depan dan menolak dihadirkan pada masa kini in prasen-tia; teks yang menunda dan mendeferensiasi ke-hadiran Al-Fayyad, 2005 68. Teknik analisis teks yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan analisis hermeneutik, yakni “studi pemahaman” atau “teori tentang fi lsafat interpretasi makna” Wollf, 1991 188. Menurut Hans-Georg Gadamer, maksud sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarangnya. Teks bersifat otonom, teks mempunyai kehidupan sendiri, lepas dari penulis dan pembacanya Baried, 1994 20. Interpretasi teks itu oleh seorang pembaca tidak dapat tidak berarti pemberian makna sesuai dengan situasi si pembaca. Interpretasi teks selalu merupakan Horizontverschnelzung atau pembauran cakrawala Wollf, 1991 189, yakni dalam proses pemahaman oleh seorang pembaca berlangsung pembauran cakrawala, perpaduan antara cakrawala masa lampau saat teks itu tercipta dan cakrawala masa kini si pembaca Teeuw, 1984 174. Berkaitan dengan ini, untuk menggali isi teks diperlukan interpretasi. Menurut Gadamer, interpretasi, selalu merupakan interpretasi sirkuler. Manusia hanya dapat memahami masa lalu, teks, orang lain dari pusat pandangan manusia itu dan dari sejarahnya sendiri. Interpretasi selalu bersifat perspektival karena interpretasi selalu dibatasi oleh horison atau cakrawala peneliti yang hidup pada saat sekarang. Interpretasi tidak akan pernah sampai pada interpretasi yang menyeluruh, karena perhatian peneliti hanya diarahkan pada elemen-elemen yang berkaitan dengan interest kontemporer si peneliti. Hasil maksimal dari interpretasi adalah fusion of horizons atau bertemunya cakrawala masa lalu ketika teks diciptakan dan masa kini saat teks ditafsirkan Wollf, 1991 189. Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman81Berdasarkan kerangka teoritis hermeneu-tik Gadamer, maka dapat ditetapkan kerangka penafsiran naskah Sirr al-Lathīf sebagai berikut Pertama, dilakukan transliterasi naskah Sirr al-Lathīf dari huruf Arab ke huruf Latin dan alih bahasa dari teks berbahasa Melayu ke teks ber-bahasa Indonesia. Alih bahasa teks ini penting karena bahasa merupakan jembatan pengalaman hermeneutik dan interpretasi. Kedua, upaya un-tuk membangun pra-anggapan prejudice adalah dengan cara melakukan penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan subject matter penelitian ini. Ketiga, interpretasi dapat terjadi apabila ber-langsung fusion of horizons. Upaya untuk menca-pai hal itu adalah dengan cara membandingkan pokok-pokok pemikiran dalam naskah Sirr al-Lathīf dengan karya penulis lain yang memba-has pokok-pokok pemikiran sejenis dan mewakili cakrawala pemikiran saat ini. Melalui cara seperti ini, akan terjadi pembauran cakrawala pemikiran pada masa ketika naskah Sirr al-Lathīf diciptakan dan cakrawala pemikiran pada masa teks ini di-tafsirkan sehingga dapat dirumuskan suatu rele-vansi kandungan nilai-nilai budaya dalam naskah tersebut dengan tata kehidupan sosial masyarakat dewasa ini setting. Untuk itu perlu ada pengeta-huan tentang setting NaskahSosok pengarang Sirr al-Lathīf memang tidak terungkap. Satu-satunya petunjuk yang dapat membantu adalah mengenai tempat dan tanggal penulisan naskah. Tempatnya adalah Tabuh, Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan; sedangkan penanggalannya juga jelas, penulis menyelesaikannya pada tahun 1913, kemudian naskah tersebut disalin oleh cucunya dan selesai pada tahun 1983. Dengan merujuk keadaan ini dapat diperkirakan bahwa pemikiran tasawuf yang terdapat di dalam naskah ini sangat dipengaruhi oleh dinamika pemikiran yang terjadi di Kalimantan Selatan pada saat itu, dan Nusantara di awal abad Selatan sebagai bagian dari tradisi budaya Melayu memiliki kekayaan naskah yang tidak sedikit, dan keberadaannya memiliki kaitan yang erat dengan persebaran dan pengaruh ajaran Islam abad XIV M. Abad ini jauh sebelum berdirinya Kerajaan Islam Banjar dengan raja pertamanya Sultan Suriansyah. Hal tersebut karena ada dua abad sebelum Kerajaan Banjar berdiri di sekitar Kuwin sudah terdapat pemukiman penduduk yang beragama Islam. Barangkali kelompok penduduk yang dikenal sebagai Oloh Masih atau Orang Melayu yang tinggal di sekitar Kuwin telah mengenal agama Islam, atau mungkin sudah beragama Islam Masfi ah, 2009 3.Penyebaran Islam di Kalimantan Selatan lebih meluas setelah berdirinya Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Sultan Suriansyah sebagai raja pertama yang memeluk Islam sekitar abad XVII. Bantuan dari Kerajaan Islam Demak dan hubungan Islam dengan pantai utara Jawa Timur, Gresik, Tuban, dan Surabaya mempercepat proses penyebaran Islam di Kalimantan Selatan. Pada abad XVII ini pula dalam wilayah Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran yang berkembang di Aceh. Kegiatan para ulama dan para juru dakwah dari Kerajaan Aceh telah merambah ke mana-mana termasuk dalam wilayah Kerajaan Banjar, di samping Sumatra sendiri dan Malaysia. Kedudukan Kerajaan Aceh juga menentukan, karena Aceh merupakan terminal bagi jamaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci atau bagi mereka yang kembali ke Tanah Air. Sebelum munculnya kapal api, para jamaah haji atau para pelajar yang akan belajar ke Tanah Suci, berdiam di Aceh beberapa lama menunggu angin baik untuk melanjutkan pelayaran, begitu pula bagi mereka yang akan pulang ke Tanah Air, khususnya daerah bagian timur dari kepulauan Nusantara berada di Aceh, mereka mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan atau mengikuti pengajian-pengajian, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pemikiran mereka. Perkembangan pemikiran keagamaan yang sudah mendapat pengaruh Aceh, mengalami beberapa tahap pekembangan, yaitu a paham dasar keagamaan yang mewarnai pemikiran Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9082keagamaan di dalam Kerajaan Banjar adalah yang berasal dari Jawa, yaitu Demak atau Giri yang hanya menyangkut prinsip-prinsip dasar sesuai dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dalam akidah dan paham Syafi iyah dalam bidang hukum, serta tasawuf akhlak. Di sini tidak terlihat tanda-tanda bahwa ajaran kejawen turut masuk ke wilayah Kerajaan Banjar; b. Paham mistik/sufi sme yang berasal dari Hamzah Fansuri sudah memasuki praktik keagamaan di dalam Kerajaan Banjar beberapa saat setelah penduduk memeluk agama Islam dan sudah ada yang berangkat ke Aceh dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Paham ini tampaknya dominan sebagaimana terlihat pada Syekh Ahmad Syamsuddin al-Banjari yang ternyata sudah menggeluti persoalan tentang kejadian Nur Muhammad, salah satu prinsip dasar sari ajaran tasawuf wahdah al-wujud; dan c sebagai reaksi yang muncul di Aceh yaitu berkembangnya faham sufi sme dari Hamzah Fansuri, maka kelompok pemikiran Nuruddin al-Raniri yang menentangnya juga mendapat simpati dari rakyat Kerajaan Banjar Masfi ah, 2009 4-5; Abdurrahman, 1989.Pada abad ke-17 ini pula terdapat peristiwa yang menandai adanya hubungan yang harmonis antara Aceh dan Banjar. Pada waktu itu seorang yang hidup dalam Kerajaan Banjar di Martapura telah menyusun sebuah kitab ilmu tasawuf tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang dipengaruhi ajaran Ibn Arabi, aliran wahdah al-wujud. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-17 wilayah Kerajaan Banjar sudah menunjukkan berkembangnya aliran tasawuf secara dominan sampai melahirkan seorang ulama terkemuka di bidang tersebut dan mampu mengarang sebuah kitab yang cukup berat. Kitab tasawuf tersebut dihadiahkan pengarangnya kepada Ratu Aceh Masfi ah, 2009 5.Merujuk penelitian Winstedt menyebutkan bahwa pembicaraan tentang Nur Muhammad telah dibahas oleh seorang ulama Banjar, Syamsuddin, yang menyelesaikan tulisannya pada tahun 1688 dan menghadiahkannya kepada Sultan Tajul Alam Syafi atuddin yang memerintah di Aceh. Meskipun pada masa pemerintahan Sulthanah Seri Tajul Alam Syafi atuddin Johan Berdaulat puteri dari Sultan Iskandar Muda memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1050-1085 H/1641-1675 M, seorang Ratu yang loyal terhadap ajaran-ajaran wujudiyah yang berkembang di sana yang semula mendapat banyak tekanan. Maka, dirikimkannya naskah yang ditulis oleh Syamsuddin kepada Kerajaan Aceh khusus untuk Ratu, menunjukkan hubungan timbal balik yang dengan dua kerajaan Banjar dan Aceh. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegiatan-kegiatan ulama Aceh, seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, di satu sisi yang dianggap penyebar wujudiyah, dan Nuruddin al-Raniri di sisi lain yang menentang wujudiyah. Dua kelompok tasawuf ini mempunyai pengaruh yang sangat besar di wilayah Kerajaan Aceh, dan keduanya pun sempat terlibat dalam konfl ik berdarah. Meskipun demikian, pengaruh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani sudah masuk ke wilayah Kerajaan Banjar dibuktikan dengan munculnya dua tokoh tasawuf penting Syekh Ahmad Syamsuddin al-Banjari abad XVII dan Syekh Abdul Hamid Abulung abad XVIII Zamzam, 1979; Suriadi, 1998 dan 2007. Setelah masa Syekh Ahmad Syamsuddin, muncullah tokoh ulama sufi selanjutnya, yaitu Syekh Muhammad Nafi s al-Banjari. Beliau termasyhur dengan karyanya al-Durr al-Nafi s Bayan Wahdat al-Afal wa al-Asma’ wa al-Shifat wa al-Zat al-Taqdis. Syekh Nafi s dilahirkan pada 1148 H/1735 M di Martapura dari keluarga bangsawan Banjar. Ia hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Azra, 1994 255. Disusul tokoh sufi lainnya, Syekh Abdul Hamid Abulung. Hingga saat ini tidak diketahui tanggal kelahirannya, tetapi ia sezaman dengan Syekh Nafi s dan Syekh Arsyad. Syekh Abdul Hamid membawa ajaran tasawuf yang dikenal dengan ajaran Ilmu Sabuku. Pemikiran tasawufnya tentang Tuhan dan manusia lebih mengarah kepada wahdah al-wujud-nya Ibnu Arabi, bukan pada pemikiran tasawuf al-Ghazali Sahriansyah, 2009. Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman83Pemikirann ketiga tokoh sufi Syekh Syamsuddin, Syekh Abdul Hamid, dan Syekh Nafi s, telah membuktikan adanya keragaman corak pemikiran tasawuf di Kalimantan Selatan yang seakan-akan “mondar-mandir” antara tasawuf falsafi dan tasawuf sunni. Syekh Syamsuddin dan Syekh Abdul Hamid mengusung corak pemikiran tasawuf falsafi , sedangkan Syekh Nafi s mengedepankan pemikiran tasawuf sunni. Meskipun sesungguhnya Syekh Nafi s juga cenderung ke tasawuf falsafi .Dalam sejarah pemikiran tasawuf di Kalimantan Selatan memang sudah ada upaya “penjinakan” terhadap tasawuf falsafi model Syekh Abdul Hamid pada masa Syekh Arsyad pada abad ke-18, yang kemudian memunculkan apa yang disebut oleh Azyumardi Azra sebagai neo-sufi sme di Kalimantan Selatan yang memiliki perhatian tinggi terhadap syariah Azra, 1994 266. Menurut Rahmadi, pada abad ke-19, corak pemikiran Islam hampir sepenuhnya diwarnai oleh ajarah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Kecenderungan ini kemudian diperkokoh pada masa berikutnya, di mana sejumlah referensi dan produk pemikiran yang bermunculan pada abad ke-20 digunakan untuk terus memperkokoh corak tersebut dan mempertahankannya sebagai arus utama pemikiran Islam di Kalimantan Selatan Rahmadi, 2012 1. Namun, pada abad ke-20 juga gelombang pembaruan yang melanda wilayah ini menjadi ujian berat terhadap pemikiran arus utama mainstream ketika para “kaum muda” bermunculan dan organisasi keagamaan berhaluan reformis mulai menggugat corak pemikiran Islam yang sudah mapan. Gugatan ini tentu saja mendapat perlawanan dari para ulama Banjar arus utama’ sehingga terjadilah polemik pemikiran di kalangan mereka. Beberapa literatur keagamaan yang ditulis oleh ulama Banjar yang muncul sepanjang abad ke-20 bahkan pada awal abad ke-21 merupakan wujud nyata dari “perlawanan” terhadap gugatan itu Rahmadi, 2012 1-2.Khusus di abad ke-20, sufi sme al-Ghazali tampak lebih dominan di Kalimanta Selatan sehingga muncul kesan bahwa tasawuf falsafi sudah ditinggalkan. Padahal anggapan ini tidak semuanya benar, karena bersamaan dengan gerakan pen-sunni-an tasawuf, tasawuf falsafi juga tetap melakukan gerakan yang sama meskipun dilakukan secara diam-diam dan cenderung bergeser ke tempat-tempat yang jauh dari pusat kekuasaan, terutama pedalaman Kalimantan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya naskah Sirr al-Lathīf ini. Dengan mengetahui setting yang meling-kari lahirnya naskah Sirr al-Lathīf di atas akan diketahui sebab-sebab pemikiran yang ada di da-lamnya dan kemudian mencoba “membaca” dan menganalisisnya agar diketahui kandungannya. Dalam artikel ini, kami akan memaparkan kan-dungan naskah dengan bertumpu pada tiga per-tanyaan penelitian 1 bagaimanakah konstruk mistisisasi surah al-Fatihah dalam naskah terse-but?; 2 bagaimanakah relasi puji memuji Tuhan dan hamba yang dilambangkan dalam sembahy-ang?; dan 3 bagaimanakah deskripsi tentang manusia sempurna insān kāmil?HASIL DAN PEMBAHASANKonstruk Mistisisasi surat al-Fatihah Built in Dalam TubuhSurat al-Fatihah dalam naskah Sirr al-Lathīf ditempatkan di bagian awal setelah halaman sampul. Penempatan ini tentunya ada maksud-maksud tertentu, misalnya, untuk menyatakan bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan al-Fatihah, atau mungkin juga ada pemahaman bahwa al-Fatihah itu adalah induk segala surat. Berkaitan dengan surat ini, penjelasan yang diberikan memang bukanlah merupakan sebuah tafsir sebagaimana lazimnya, tetapi cenderung mengarah pada pemahaman mistik dan berujung pada pengalaman mistik. Dengan kata lain, penjelasan surat ini lebih tepat dipandang sebagai ekspresi dari pengalaman mistik seorang sufi . Inilah yang disebut mistisisasi surat Schimmel 1975 membagi pe-ngalaman mistik itu menjadi dua jenis yaitu yang berupa mistisisme ketakterhinggaan mysticism of Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9084Infi nity dan mistisisme kepribadian mysticism of Personality. Pengalaman pertama dapat dijumpai pada model ajaran Plotinus atau Upanishad dan dalam Islam dapat kita temui pada ajaran Ibn Arabi. Pengalaman ini kerap digambarkan sebagai lautan tak bertepi dimana manusia diibaratkan sebagai tetesan air yang tenggelam di dalamnya. Kerap juga digunakan perumpamaan bagai gurun luas dimana manusia ibarat debu di dalamnya. Bentuk pengalaman semacam ini kerap menuju pada suatu paham yang biasa mendapat sebutan pantheisme atau monisme yang kerap mendapat serangan akibat hancurnya pertanggungjawaban individu pada pemahaman seperti itu. Bentuk pengalaman kedua dapat dijumpai pada banyak sufi dimana hubu-ngan antara manusia dengan Tuhan digambarkan sebagai hubungan antara ciptaan dengan Penciptanya, hubungan antara budak dengan Tuannya dan antara pecinta dengan yang puncak pengalaman mistiknya, para sufi sering mengalami situasi yang mereka percaya pada saat itu mereka sedang berjumpa dengan Tuhan. Ungkapan-ungkapan yang tak lazim kadang keluar pada saat puncak pengalaman tersebut. Suatu keadaan yang kerap disebut sebagai keadaan syath. Meskipun mengundang banyak hujatan, para sufi dapat mencari pembenaran dengan menyandarkan pada pengalaman Nabi dalam mengungkapkan hadis qudsi sebagai pengalaman serupa dengan shath tersebut Ernst, 2003 29. Ekspresi ekstase shath tersebut merupakan salah satu kunci penting dalam memahami ajaran sufi sme. Bagi mereka yang mendukung, syatiyat dianggap sebagai jalan memahami wahyu Tuhan sedangkan bagi mereka yang menolak menganggap hal itu sebagai parodi kitab suci yang mengumpat dari penjelasan di atas, maka dipahami jika ayat-ayat al-Fatihah ditempatkan di bagian-bagian tubuh tertentu, sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut Letak Ayat-ayat dalam Surat Al-Fatihah pada Bagian-bagian Tubuh TertentuAYAT LETAKNYA DALAM TUBUHBism Allāh ar-Rahmān ar-Rahīmotak/ruhal-Hamdu li Allāhmuka rabb al-ālamīntelinga kananar-Rahmāntelinga kiriAr-Rahīmtangan kanan dan kirimālik yawm ad-dīnbelakang iyyāka na’budu Leherwa iyyāka nasta’īnDadaihdinā ash-shirāth al-mustaqīmurat dan lidahshirāth al-ladzīna Pusatan’amta alaihim kaki kanan dan kirigair al-maghdūbi Empedualaihim Kurawalā adh-dhāllīnHatiāmīnJantungDengan pemahaman tersebut, surat ini sudah ada di dalam built in diri manusia. Di tingkat lokal memang muncul kata-kata “al-Fatihah da-lam diri”, yang merefl eksikan pemahaman kog-nisi masyarakat lokal bahwa surah ini sudah ter-tanam dalam diri manusia, dan karenanya kewa-jiban bagi manusia untuk mengetahui dan meng-hayatinya. Dengan demikian, Yahya tidak berbi-cara tentang penafsiran surat al-Fatihah, tetapi ia berbicara tentang mistisasi surat tersebut. Selain ayat-ayat al-Fatihah yang terletak di bagian tubuh tertentu, di Kalimantan ditemukan juga kepercayaan huruf-huruf hijaiyah terletak di bagian-bagian tubuh tertentu. Kepercayaan ini dikenal dengan sebutan Ilmu Alif. Dipercayai bahwa manusia di alam akhirat akan wujud dalam berbagai keadaan. Supaya badan manusia berwujud seperti keadaannya di dunia, maka diamalkanlah Ilmu Alif tersebut. Ilmu ini diamalkan setiap salat. Jika seseorang tidak mengingatnya, maka ia akan kehilangan anggota tubuh di akhirat. Alif antara dua keningku baitullah di badanku; Bā kening kananku; Tā kening kiriku; Tsā dahiku; Jīm ubun-ubunku pintu Ka’bah di badanku; Hā bahu kananku; Khā bahu kiriku; Dāl kaki kananku; dzāl kaki kiriku; Rā rusuk kananku; Zai rusuk kiriku; Sīn susu kananku; Syīn susu kiriku; Shād Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman85telinga kananku; Dhād telinga kiriku; Thā mata kananku; Zhā mata kiriku; ain tangan kananku; Ghīn tangan kiriku; Fā pinggang kananku; Qāf pinggang kiriku; Kāf belakang kananku; Lām belakang kiriku; Mīm mukaku; Nūn otakku; Wawu pusatku, batu bergantung di badanku; Hā hatiku Ka’bah di badanku; Lām alif sulbiku arsy dan kursi di badanku; Hamzah jantungku; Yā nyawaku utama Muhammad rahasia Allah di badanku Hermansyah, 2010 119.Kembali kepada Naskah Sirr al-Lathīf. Dengan mistisisasi surat al-Fatihah seperti disebutkan di atas, Yahya juga menambahkan penjelasannya bahwa saat membaca surah ini dalam sembahyang berarti memuji diri sendiri. Karena itu, tegas Yahya“Jadi kita berdiri sembahyang itu membaca al-Fatihah adalah sebenarnya memuji diri sendiri. Apabila tidak sembahyang berarti orang itu durhaka kepada ibu bapaknya, kepada Nabinya, kepada Datu Adam. Alamat neraka yang akan didapat.” Sirr al-Lathīf 2.Mereka yang mendirikan sembahyang dengan membaca surah al-Fatihah, maka pada esensinya ia sedang mengenal dirinya sendiri yang berarti akan mengenal Tuhannya sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadis terkenal “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” “barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya”. Hadis ini difahami oleh para sufi sebagai bagian yang sangat penting al-Kurdī, 1995 483. Menurut Seyyed Hossen Nasr 2007 5, pengetahuan diri akan mengantarkan pada pengetahuan tentang Tuhan. Tasawuf memandang serius hadis ini dan juga menempatkannya ke dalam amalan. Ia memberikan, di dalam semesta spiritual tradisi Islam, cahaya yang diperlukan untuk menerangi sudut gelap jiwa kita dan kunci untuk membuka pintu ke relung-relung tersembunyi dari wujud kita sehingga kita bisa berziarah ke dalam diri dan mengenal diri kita sendiri, dan pengetahuan ini pada akhirnya mengantarkan kepada pengetahuan tentang Tuhan, yang bersemayam di jantung/pusat/diri hanya kita ini diciptakan oleh Tuhan, akar keberadaan kita di sini dan pada saat ini pun ada di dalam Dia. Ketika kita bersaksi akan Ketuhanan-Nya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat al-Quran, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” QS. al-A’raf [7] 172, dunia dan segala yang ada di dalamnya masih belum dicipta. Bahkan sekarang kita memiliki keberadaan pra-abadi kita di Hadirat Ilahi, dan kita telah membuat perjanjian kekal dengan Tuhan, yang tetap mengikat melampaui kesementaraan kehidupan duniawi kita dan di luar bidang ruang dan waktu tempat kita sekarang menemukan diri kita sendiri Nasr, 2007 5. Selain mengenal diri sendiri’ tersebut, Yahya juga menyatakan bahwa dalam surah al-Fatihah ini, Allah membuka rahasia-Nya kepada hamba-Nya, yaitu Muhammad Atas dasar ini, Yahya mengatakan bahwa antara Allah dan Muhammad itu tidak bercerai. Hal ini dinyatakan di bagian akhir ulasannya terhadap surah al-Fatihah “Ya Muhammad, jika tiada engkau tiada rahasia-Ku dan sekalian umatmu” Sirr al-Lathīf 4 Maksudnya, kalau tidak ada Muhammad niscaya Allah tidak akan pernah membuka rahasia-Nya kepada siapa pun. Rahasia-Nya tetap Dia sembunyikan untuk selama-lamanya Sells, 2004 31. Dari paparan di atas, tampak sekali Yahya memahami al-Fatihah dalam konteks mistik bukan berdasarkan penafsiran sebagaimana lazimnya. Dengan cara baca seperti ini, dapat dipahami jika surah tersebut dijelaskan dengan “menyalahi” metode penafsiran yang sudah mapan dalam studi al-Qur’an. Tentu saja tidak adil jika yang dilakukan Yahya di atas sebagai sebuah tindakan “pelecehan” terhadap al-Qur’an. Ia tidak melecehkan al-Qur’an, tetapi ia memahami Kitab Suci ini dengan cara yang mistik, yakni dengan memahami dimensi-dimensi batin dari fi rman-fi rman Allah itu. Puji-Memuji Tuhan dan Hamba Sembahyang Bagian lain yang diuraikan dalam naskah Sirr al-Lathīf adalah “puji memuji antara Tuhan dan hamba” dalam sembahyang, yang digambarkannya dengan al-Hamdu. Dalam al-Hamdu ini terjadi hubungan timbal balik Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9086pengabdian seorang Nabi kekasih Allah, dan pelakunya umat Nabi Muhammad pun akan merasakan hal yang sama sebagaimana dirasakan oleh Nabi. Pencapaian Manusia Sempurna Insān KāmilBagian akhir dari kandungan naskah Sirr al-Lathīf adalah konsep insān kāmil manusia sempurna. Yang dimaksud insān kāmil adalah manusia yang telah memiliki dalam dirinya hakikat Muhammad, atau disebut juga nur Muhammad atau ruh Muhammad yang merupakan makhluk yang mula-mula dijadikan Allah, dan juga sebagai sebab bagi diciptakannya alam ini. Beberapa hadis yang mendukung ajaran ini, antara lain 1 “Pertama-pertama dijadikan Allah Taala cahayaku, dan pada riwayat lain, ruhku.” ar-Raniri, 1961 147; 2 “Adalah aku Nabi, dan Adam antara air dan tanah.” ar-Raniri, tth 115; 3 Aku dari Allah dan alam dariku.”; ar-Raniri, tth 159; dan 4 “Jikalau tiada engkau, ya Muhammad, niscaya tiada kujadikan segala alam ini.” ar-Raniri, tth 125-126.Jalāl ad-Dīn Rūmī dalam sebuah syairnya juga menyatakan alasan Tuhan menciptakan alam semesta ini karena Nabi Muhammad. Rūmī menyatakanTuhan tidaklah mencipta di bumi atau di langit yang tinggi sesuatu yang lebih gaib daripada ruh telah menyingkapkan rahasia segala sesuatu, baik yang basah maupun yang kering, namun Dia menutup rahasia ruh “ia masuk urusan Tuhanku.”Karena penglihatan Saksi yang mulia melihat ruh itu, maka sia-sialah tetap bersembunyi yang disebut “Yang Maha Adil”, dan Saksi itu milik-Nya Saksi yang adil itu adalah mata Sang Pandangan Tuhan di kedua dunia adalah kesucian hati tatapan Sang Raja tertuju pada orang yang cinta kasih-Nya yang bermain-main dengan kekasih-Nya adalah sumber dari seluruh tabir yang telah Dia karena itu Tuhan kita Yang Maha Pengasih saling memuji antara Tuhan dan hamba. Yahya menyatakan bahwa sembahyang lima waktu keluar dari al-Hamdu, dan al-Hamdu itu adalah kepala al-Qur’an. Kemudian dijelaskan lebih lanjut tentang hubungan sembahyang lima waktu dengan sembahyang zhuhur itu keluar dari alif, empat rakaat yaitu dua telinga dan dua mata, keluar dari cahaya manikam yang kuning; adapun hurufnya cahayanya yaitu paru-paru pada kita. Adapun sembahyang ashar itu keluar dari lam, empat rakaat yaitu dua tangan dan dua kaki; keluar dari cahaya manikam yang merah; hurufnya cahayanya yaitu jantung pada kita. Adapun sembahyang maghrib itu keluar dari ha tiga rakaat, dua lubang hidung dan satu tulang mulut, keluar dari cahaya manikam yang hijau, hurufnya cahayanya yaitu empedu pada kita. Adapun sembahyang isya itu keluar dari huruf mim, empat rakaat, dua susu, satu pusat, dan satu sulbi, keluar dari cahya manikam yang hitam; adapun huruf cahayanya limpa pada kita. Adapun sembahyang subuh itu keluar dari huruf dal, dua rakaat, satu tubuh dan satu nyawa ruh dan jasad, keluar dari cahaya manikam yang putih; adapun huruf cahayanya yaitu hati pada kita Sirr al-Lathīf 7-8.Selanjutnya Yahya menambahkan uraiannya berkaitan gerakan postur sembahyang yang berkaitan dengan Ahmad. Berdiri tegak keluar dari alif ﺍ yang melambangkan sifat api. Ruku keluar dari ha ﺡ melambangkan sifat angin. Sujud keluar dari mim ﻡ yang melambangkan sifat air. Duduk antara dua sujud keluar dari dal ﺩ yang melambangkan sifat tanah. Jadi, yang dinamakan sembahyang itu adalah Ahmad yang representasikan oleh tubuh kasar, yang menyampaikan sembahyang adalah Nur Muhammad, sedangkan yang dituju sembahyang adalah Allāh al-Shamad Sirr al-Lathīf 8. Melalui uraiannya ini, Yahya ingin menegaskan bahwa secara lahiriah sembahyang yang dilaksanakan itu adalah Ahmad, dan Ahmad itu adalah nama lain untuk Nabi Muhammad saw. Mungkin yang dimaksud di sini adalah sembahyang itu hendaknya mengikuti Nabi Muhammad termasuk gerakan, perkataan, dan kekhusyuan beliau saat melaksanakan sembahyang. Di sini, sembahyang itu pada hakikatnya merupakan manifestasi dari ϣ΍ Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman87berfi rman kepada Nabi pada malam miraj “Kalau bukan karena engkau niscaya tidaklah Kuciptakan alam.” Dikutip dari Nicholson, 2002. 104.Uraian di atas menyatakan dengan jelas bahwa Nabi Muhammad atau nur Muhammad telah dijadikan sebelum alam ini, sebelum adanya dalam bentuk seorang Nabi insani. Nur tersebut qadim lagi azali. Nur Muhammad inilah yang selalu berpindah dari generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan lain-lain, kemudian dalam bentuk Nabi penutup, Muhammad saw. Selanjutnya, ia berpindah kepada para imam, dalam kalangan Syiah Imamiyah, dan berakhir pada Imam Mahdi. Di kalangan para sufi , nur tersebut berpindah kepada para wali dan berakhir pada wali penutup khatam auliyā, yakni Nabi Isa yang akan turun pada akhir zaman al-Jīlī, 1975 84.Nur atau ruh Muhammad, dalam tasawuf Ibn Arabi, adalah merupakan wadah tajalli Ilahi yang paling sempurna, dan karena itu ia dipandang sebagai khalifah Ilahi atau Insān Kāmil dalam arti yang paling khas. Ketika bagian-bagian tertentu dari alam ini merupakan wadah tajalli dan sebagian tertentu dari asma dan sifat Allah, maka Insan Kamil itu merupakan satu-satunya wadah tajalli bagi ism al-Jalālah, yakni Allah, yang dipandang sebagai pengikat semua nama dan dari itu, hakikat Muhammad mempunyai dua jalur hubungan hubungannya dengan alam sebagai asas penciptaan dan hubungannya dengan manusia sebagai hakikat manusia. Dari segi hubungannya dengan alam, maka nur Muhammad seperti tersebut dalam hadis, adalah nur yang mula-mula dijadikan Allah dan yang darinya dijadikan alam semesta ini alam jasmani dan alam ruhani. Jadi, nur Muhammad mengandung dalam dirinya apa yang disebut al-ayan al-mumkinah kenyataan yang mungkin, dan dengan fi rman Kun, segala yang berwujud potensial itu beralih kepada wujud aktual dalam bentuk alam empiris ini. Namun, tujuan penciptaan alam belum lagi tercapai, karena alam ini merupakan kaca yang belum terasah, sehingga tidak dapat berperan sebagai cermin bagi Allah untuk melihat kesempurnaan-Nya. Adapun dari segi hubungannya dengan manusia, maka nur Muhammad juga disebut hakikat manusia atau Insān Kāmil. Dalam dirinya mengandung segala hakikat wujud. Karena itu Insān Kāmil merupakan wadah tajalli Allah yang paling lengkap, sehingga dapat berperan sepenuhnya sebagai cermin-Nya untuk melihat diri-Nya dalam wujud yang lengkap dan sempurna Daudy, 1983 185-186.Ajaran yang berasal dari Ibn Arabi ini kemudian dikembangkan Abd al-Karīm al-Jīlī dalam sebuah karya pentingnya, al-Insān al-Kāmil fī Marifah al-Awākhir wa al-Awaāil. Ajaran ini kemudian dikembangkan oleh para sufi di Aceh lewat Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, dan Syekh Nuruddin ar-Raniri. Dari Aceh, ajaran insān kāmil masuk ke Kalimantan lewat dua tokoh utamanya, Syaikh Muhammad Nafīs al-Banjarī dan Syaikh Abdul Hamid Abulung Mansur, 1990. Dari Kalimantan Selatan, ajaran insān kāmil kemudian masuk ke seluruh wilayah Kalimantan Sulaiman, 2001. Insān Kāmil dalam naskah Sirr al-Lathīf dinyatakan bahwa ia ada dalam sosok Nabi Muhammad yang dilukiskan dalam sebuah simbolisme huruf. Simbolisme huruf tidak sekedar seni menulis, tetapi di balik itu semua ada pesan-pesan mistik yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana diingatkan oleh Littlejohn 1989 134 bahwa tindakan personal atau teks sebenarnya mengandung pesan-pesan tertentu yang perlu diinterpretasi untuk menemukan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Pendapat senada dikemukakan oleh Atmosuwito, yang mengatakan bahwa simbol merupakan suatu pola yang mengandung kenyataan yang tidak terlihat invisible reality yang hanya dapat ditangkap dengan penglihatan batin. Karena contoh gambar dari alam syahādah digunakan dalam menyatakan realitas yang tidak terlihat, maka dalam simbol dua kenyataan yang berbeda, yaitu kenyataan dalam dan kenyataan luar, disatukan Atmosuwito, 1989 68. Dalam Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9088teorinya tentang strata simbol, Ermatinger dalam Hinderer, 1972 menyatakan bahwa bentuk-bentuk simbol berkaitan langsung dengan bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran batin manusia. Pendek kata, manusia tidak dapat membebaskan diri dari simbol apabila memikirkan perkara-perkara yang tidak dapat dilihat dengan mata. Di sini simbol bukan hanya sekadar tanda yang membawa seseorang mengenali sesuatu, tetapi juga-khususnya dalam kaitannya dengan pengalaman keagamaan dan mistikal, berfungsi membawa seseorang mencapai pemahaman tentang wujud suci yang lebih tinggi dan tersembunyi Hadi WM, 2001 90. Gambar Judul gambar belum adaSosok Insān Kāmil dalam Naskah Sirr al-LathīfDalam tradisi sufi penggunaan simbol berhubungan dengan tradisi esoterik mereka yang menekankan pentingnya makna dalam. Lebih jauh penyair-penyair sufi memandang bahwa puisi merupakan simbol-simbol dari kebenaran dan keindahan jiwa manusia. Sebagaimana dalam tradisi besar sastra dunia yang lain, simbol-simbol atau citra-citra simbolik yang terdapat di dalam khazanah sastra sufi memilikt sejarah, latar belakang dan akar tersendiri yang khusus, yaitu gagasan keruhanian mereka dan latar belakang budaya di mana tasawuf mula-mula tumbuh dan berkembang. Selain diambil dari al-Qur’an, Hadis Nabi dan sejarah Islam, simbol-simbol dalam puisi sufi stik juga diambil dan dimodifi kasi dari tradisi lokal. Seorang ahli sufi yang terkenal pada abad ke-11 al-Qusyairī di dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyah mengatakan bahwa lahirnya simbol-simbol di dalam tasawuf, dan penggunaannya dalam pengucapan puisi sufi , berhubungan erat dengan tradisi esoterik mereka. Penggunaan simbol dimaksud agar gagasan-gagasan esoterik mereka terlindung dari pengetahuan golongan masyarakat yang tidak sepaham dengan pemikiran mereka Taftazani, 1985 134. Di dalam Kitab al-Luma` at-Thūsī mengatakan bahwa simbol-simbol adalah pengertian samar yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan lahir, dan hanya dapat dipahami oleh ahli yang menguasainya. Menurut at-Thūsī, dalam simbol, terdapat dua jenis makna 1 makna lahir dari kata-kata yaitu arti harfi ahnya; 2 makna keruhanian yang tersembunyi yang memerlukan telaah dan kajian mendalam Taftazani, 1985 134. Cara menangkap makna tersembunyi itu ialah dengan menelaahnya menurut metode takwil atau tafsir keruhanian. At-Taftazani mengatakan bahwa pada dasarnya penggunaan simbol untuk mengungkapkan kenyataan dan pengalaman keruhanian seorang ahli sufi ; yang menjadi ciri dari sufi -sufi abad ke-10 dan sesudahnya, timbul dari usaha untuk mengalihkan pengalaman kejiwaan mereka yang luar biasa kepada orang lain dengan bahasa yang dapat diindra, yaitu bahasa fi guratif majāz puisi. Simbol-simbol dalam puisi para sufi hendaknya tidak dipandang sebagai kata-kata biasa, karena setiap simbol memiliki titik pendakian ke arah pengartian luas mathla. Simbol-simbol tersebut menunjukkan pengartian yang dicipta dalam keadaan jiwa yang dinamis atau bergelora dan menggambarkan Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman89secara hidup kecenderungan perasaan, pikiran dan kalbu seorang sufi yang dilimpahi gairah ketuhanan. Pernyataan senada dikemukakan oleh Annemarie Schimmel, yang menemukan adanya pesan-pesan mistik dalam pemakaian huruf-huruf Arab yang digunakan secara luas di kalangan sufi Schimmel, 1970. PENUTUPSetelah diuraikan panjang lebar hasil kajian terhadap naskah Sirr al-Lathīf, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, ayat-ayat surat al-Fatihah dipercayai terletak pada organ-organ tubuh manusia, yang mengisyaratkan bahwa ia sudah built in dalam diri manusia. Dengan demikian, penjelasan ini bukanlah sebuah tafsir, melainkan mistisisasi surat al-Fatihah. Kedua, penjelasan sembahyang salat dalam naskah Sirr al-Lathīf mempunyai kekhasan yang tidak ditemukan dalam penjelasan fi kih. Ia mencoba menghubungkan sembahyang sebagai penyatuan antara Tuhan dan hamba. Dan ketiga, penjelasan insān kāmil sebagai representasi dari manusia yang sempurna, tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep dari para sufi mainstream. Namun, naskah ini lebih banyak menggunakan simbolisasi untuk menggambarkan keterbatasan kata-kata verbal untuk mengungkapkan hubungan yang sangat intim tersebut. Dari tiga kesimpulan di atas, dapat digarisbawahi bahwa naskah ini tidaklah independen dari pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya. Ia merupakan ringkasan ajaran tasawuf yang sudah berkembang pada masa itu, dan jika dirunut ke belakang tetap ada hubungan yang erat dengan ajaran wahdah al-wujūd, yang memang sudah mengakar kuat di Nusantara. Wallāhu a’lam bi PUSTAKAAbdurrahman, 1989. “Studi tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 Suatu Tinjauan tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19”. Banjarmasin Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Subijanto. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas Dalam Sastra. Bandung CV. Sinar Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta Badan Peneliti dan Publikasi Seksi Filologi, Fak. Sastra Universitas Gadjah Oman. 2008. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta PPIM UIN Syarif Hidayatullah-KITLV-École française d’Extrême-Orient-Prenada Media Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta LKiS. Hadi Abdul. 2001. Tasawuf Yang Tertindas Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta 2010. Ilmu Gaib di Kalimantan Barat, Jakarta KPG-École française d’Extrême-Orient-KITLV dan STAIN Walter. 1972. “Theory, Conception and Interpretation of the Symbol”, dalam Joseph Strelka ed., Perspectives in Literary Symbolism. University Park and London Pennsylvania State Abd al-Karīm ibn Ibrāhīm. 1975. Al-Insān al-Kāmil fī Marifat al-Awākhir wa al-Awā’il. Beirut Dār Stephen W. 1989. Theories of Human Communication. California Wadsworth Publishing Nabilah. 1996. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta Forum Kajian Bahasa dan sastra Arab, Fak. Adab IAIN Syarif Laily. 1982. Kitab ad-Durrun Nafi s Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf. Banjarmasin Hasanu. Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9090Masfi ah, Umi. 2009. Naskah Melayu Bernuansa Keagamaan Islam di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan Kajian Naskah Kitab Tahqiq di Kalimantan Selatan Laporan Penelitian. Semarang Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Dep. Agama Seyyed Hossein. 2007. The Garden of Truth The Vision and Promise of Sufi sm, Islam’s Mystical Tradition. New York Harper Reynold A. 2002. Jalaluddin Rumi Ajaran dan Pengalaman Sufi , terj. Drs. Sutejo. Jakarta Pustaka “Dinamika Intelektual Islam di Kalimantan Selatan Studi Genealogi, Referensi, dan Produk Pemikiran”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vo. 11, No. 1, Januari Syekh Nuruddin. Asrār al-Insān fī Marifah ar-Rūh ar-Rahmā, ed. Tujumah. Jakarta tp. Sahriansyah. 2009. Pemikiran Ilmu Sabuku Syekh Abdul Hamid Ambulung. Semarang Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama Annemarie. 1970. Islamic Calligraphy, Edi. “Menyikapi Warisan Budaya”, Media Indonesia, 25 Maret Michael A. 2004. Terbakar Cinta Tuhan Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal, penerj. Alfati. Bandung 2001. Wahdah Al-Wujūd di Kotawaringin Studi Naskah Tasawuf Muhtar ibn `Abd al-Rahīm. Tesis S2. Semarang Pascarsajana IAIN Ahmad. 1998. Ulama Banjar Posisi dan Peranannya pada Akhir Abad XVIII. Semarang Puslit IAIN Abu al-Wafa. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi ’ Utsmani. Bandung Pustaka, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta Dunia Pustaka Mudjahirin. “Filologi dan Kebudayaan”, diakses 23 April 2013. Wollf, Janet. 1991. “Hermeneutic and Sociology” dalam Henry Etkowitz dan Ronald M. Glassman [ed.], The Renaissance of Sociological Theory. Itaca, Illinois F. E. Peacock Publisher, Inc. Zamzam, Zafri. 1979. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Banjarmasin tp. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this RahmadiThis paper tries to explore the intelectual Islamic dynamic in South Kalimantan throughthe studies on many influences that become the genealogic root of Islam in this region,and then through the religious literatures that referenced by the intelectual of religiouselite and the tipology of thought’s product that emerged for more than two the writer uses the history of social-intelectual approach with based on the writtentext. This writing tells us that the genealogical root, intelectual reference, and the tipologyof religious thought which was producted actually part of the trend of intelectual muslimdynamic which commonly spreaded in Nusantara and Southeast tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 Suatu Tinjauan tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19AbdurrahmanAbdurrahman, 1989. "Studi tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 Suatu Tinjauan tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19". Banjarmasin Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Sastra dan Religiusitas Dalam SastraSubijanto AtmosuwitoAtmosuwito, Subijanto. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas Dalam Sastra. Bandung CV. Sinar Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIIIAzyumardi AzraAzra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung BariedDkk BarorohBaried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta Badan Peneliti dan Publikasi Seksi Filologi, Fak. Sastra Universitas Gadjah Syattariyah di Minangkabau Jakarta PPIM UIN Syarif Hidayatullah-KITLV-École française d'Extrême-Orient-Prenada Media GroupOman FathurahmanFathurahman, Oman. 2008. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta PPIM UIN Syarif Hidayatullah-KITLV-École française d'Extrême-Orient-Prenada Media FayyadFayyad, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta LKiS.
RAHASIADALAM BACAAN SURAT AL-FATIHAH Shalat mempunyai posisi yang sangat penting. Ia adalah tiang penyangga agama ini. Sedangkan tiang penyangga utama dari shalat itu sendiri adalah bacaan al-Fâtihah, yang berulang kali dibaca setiap Muslim dalam setiap raka'at di dalam shalatnya. Maka tidak heran, bila tanpa membaca al-Fâtihah, shalat tidak sah.
> PENGANTAR Al-Fatihah dinamakan juga Ummul kitab yang berarti induk kitab atau pokok kitab, karena isinya sangat luas mencakup seluruh isi Al Qur’an[1,2]. Dinamakan juga tujuh yang diulang-ulang Sab’ul Matsaani karena selalu dibaca pada setiap rakaat shalat [6]. Tanpa al-Fatihah shalat Umat Islam dikatakan batal dan tidak sah, hal ini yang menunjukkan peran fundamental dari surat ini sebagai induk dari surat-surat selanjutnya. Pengertian-pengertian diatas merupakan pengertian umum yang diberikan kepada surat al-Fatihah karena berbagai keistimewaannya. Namun, sejauh ini pengertian di atas diungkapkan dari segi peribadahan. Untuk tinjauan risalah ini, saya mencoba menelusurinya lebih rinci dengan menyertakan konsep fisis yang sudah umum diketahui. Pada beberapa bab sebelumnya, saya sempat menyinggung sedikit informasi tentang Basmalah sebagai awal mula penciptaan. Berikut ini saya uraikan lebih rinci dari konsep dan penafsiran yang mendasarinya sampai penafsiran surat pertama sampai ketujuh dalam konteks penciptaan makhluk dan perjalanan ruhani untuk kembali menemui Allah SWT. Dengan menggunakan firman “kun fa yakuun” sebagai manifestasi kehendak Allah SWT, terungkap kaitan yang jelas antara firman “kun fa yakuun”QS 3682 dengan kalimat “Basmalah” Qs 11 yang tercantum sebagai ayat pertama dari surat al-Fatihah. Untuk menguraikan secara lebih terinci kaitan “kun fa yakuun” dengan “Basmalah” serta surat al-Fatihah secara utuh, maka kita akan meninjau surat al-Fatihah dalam konteks penciptaan semua makhluk yang merupakan Pembukaan Kitab karena merupakan surat yang pertama dalam susunan al-Qur’an. Risalah yang Anda baca sebagai Blogebook ini merupakan bagian Bab 12 dari risalah mawas diri Kun Fa Yakuun Man Arofa Nafsahu Faqod Arofa Robbahu yang terdiri dari 1432 halaman. Bagian ini telah mengalami revisi dengan revisi palibng akhir tanggal 1-9-2009. Dari Tauhid menjadi Basmalah Sebagai Pokok Tujuh Ayat Al-Fatihah Kalimat “Basmalah” menurut penafsiran Ibnu Arabi [141] dalam kitab “Tafsirul Qur’anil Karim” terdiri dari 18 huruf yang terucapkan. Sedangkan yang tertera pada tulisan berjumlah 19 huruf. Apabila kalimat-kalimat diuraikan menjadi terpisah huruf demi huruf, maka jumlah huruf yang terpisah berjumlah 22. Kendati demikian, menurut hemat saya sebenarnya terdapat huruf Alif tambahan yang dinyatakan secara simbolis yang menyertai huruf Ba dan terartikulasikan dengan Kekuasaan Al-Rahmaan ketika manusia mengatakannya dengan lidah atau ketika berbicara yaitu lafaz “Alif” dengan nilai 111. Sehingga total terdapat empat huruf Alif tersembunyi sebelum huruf Ba. Oleh karenanya kalimat Basmalah dapat menjadi 23 huruf dimana Ism Dzatiyah Allah teraktualisasikan sebagai 23 pasang kromosom manusia. Dan karena itu pula manusialah yang menjadi mediator Penampilan Tuhan. Dalam hal ini, sebagai suatu keyakinan Islam, maka Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, hamba dan KekasihNya menjadi KEY atau KUNCI supaya penampilan Tuhan pada manusia muncul menjadi Jamal dan Jalalnya [Kemahagungan dan KemahaindahanNya]. Dari sini pula maka tugas manusia Muhammad sebagai sosok Nabi dan Rasul terakhir dengan amanah untuk menyiarkan Islam sebagai tuntunan hidup mendapat tugas untuk memaknai, mengucapkan dan mengaktualkan secara nyata kalimat Basmalah menjadi Ummul Kitab al-Qur’an maupun menjadi pedoman hidup semua manusia. Satu huruf Alif yang tertulis sebelum huruf Ba menyatakan aktualisasi dari Asma Elementer Allah yang pertama kali dikenali dengan akal pikiran dan dimaknai dengan Qolbu al-Mu’minun QM. Sehingga huruf tersebut merupakan simbol penegakan ke-Esa-an Tuhan yang kelak menjadi dasar penguraian sistem ilmu pengetahuan yang terpahami manusia sampai akhirnya simbol Penegak itu dibunyikan dengan hembusan nafas al-Rahmaan. Tiga huruf Alif yang terartikulasikan dengan “berbicara” yang tersembunyi di dalam lafaz “Bism” dalam kalimat Basmalah merepresentasikan tiga alam besar yaitu, 1. Alif Pertama mewakili Alam Ilahi Yang Haq – menurut pengertian Dzat, sehingga alam ini tidak lain adalah zona Ahadiyyah yang gaib Alif kedua adalah Sifat dan Asma yang terkonfirmasikan pertama kali sebagai Asma ar-Rahmaan dan ar-Rahiiim namun alam ini belum tercitra alam inderawi. Dalam terminologi alam jamak tasawuf disebut zona Alif ketiga adalah alam Af’al Allah yang maujud dan tercitra secara inderawi sebagai penampakkan Asma-asma dan Sifat-sifat Allah di alam inderawi atau zona Tajalli Shuhudi. Menurut pakar tafsir al-Qurtubhi w. 671 H, seperti dikutip M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah jilid 1[6], penulisan huruf alif pada Basmalah adalah karena pertimbangan praktis semata karena kalimat ini sering ditulis dan diucapkan, sehingga untuk mempersingkat tulisan ini ia ditulis tanpa alif. Menurut penafsiran Az-Zarkasyi w. 794 H dalam kitabnya “al-Burhan” disebutkannya bahwa penulisan al-Qur’an memang mengandung rahasia-rahasia tertentu. Dalam hal menanggalkan huruf Alif pada tulisan atau kata-kata di alam al-Qur’an, az-Zarkasyi mengemukakan kaidah yang intinya adalah bahwa penanggalan huruf alif itu mengisyaratkan bahwa ada sesuatu dalam rangkaian katanya yang tidak terjangkau oleh panca indera. Dalam Basmalah, kata Allah dan ar-Rahmān tidak dapat terjangkau dengan hakikatnya. Kedua kata itu tidak dapat digunakan kecuali untuk menunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Kata Bismi yang dirangkaikan dengan Allah dan ar-Rahmān bermaksud mengisyaratkan hal itu. Atas dasar itu pula maka penulisan kata bismi pada surah Iqra’ ditulis dengan menggunakan huruf alif, karena surah tersebut yang dikemukakan adalah yang disifati dengan Rabb/pemelihara, sedangkan pemeliharaan Tuhan sudah cukup jelas terlihat pada seluruh hamba-hamba-Nya. Rasyid Khalifah w. 1990 M berpendapat bahwa ditanggalkannya huruf alif pada Basmalah adalah agar jumlah huruf-huruf ayat ini menjadi 19 huruf, tidak duapuluh. Ini karena angka 19 mempunyai rahasia yang berkaitan dengan al-Qur’an. Menurut hemat saya, dari berbagai penafsiran mengenai makna kerahasiaan huruf Alif dalam kata bismi dalam Basmalah diatas, sebenarnya terdapat suatu hal penting yang menunjukkan bahwa kalimat Basmalah sebagai suatu kalimah pembuka dalam mengawali semua penciptaan alam nyata mengandung pengertian bahwa penciptaan atau kehidupan itu sendiri selamanya adalah atas suatu anugerah Allah semata yang mempunyai 7 Asma dan Sifat Allah, al-Hayyu, al-Qayyum, al-Iradah, al-Qudrah, ar-Rahmaan dan ar-Rahiim. Ke 7 Asma dan Sifat itu adalah maujud dari sifat Allah yang Maha Berilmu. Sifat ini secara langsung akhirnya menjadi dasar dari maujud yaitu yang diwujudkan karena Kekuasaan Allah SWT alam semesta dan isinya sebagai kontinuitas firman “Kun fa yakuun” QS 3682. Firman Kun Fa Yakuun dinyatakan setelah Ahadiyyah Dzat terkonfirmasikan dari kalimat tauhid sepuluh huruf sebagai Pertolongan Allah yaitu “Laa ilaaha illa Huwa” dalam penyaksian pra-eksistensi QS 7172 setelah “Bala…” dinyatakan oleh makhluk pertama yaitu Nur Muhammad. Karena itu, di alam lahiriah akan muncul sebagai kalimat tauhid “Laa ilaaha illaa Allah” 12 huruf Arab yang dinyatakan dan akhirnya muncul firman-Nya sebagai surat al-Ikhlas QS 1121, “Qul huwallaahu Ahad Katakanlah, “Dialah Allah Yang Maha Esa”” sebagai kalimah penciptaan pertama ketika Allah berkehendak mandiri untuk memperkenalkan eksistensi Diri-Nya. Dari penauhidan dengan al-Ikhlas [112]1 ini maka Allah dikenali sebagai Alif Lām Lām Ha, 4 huruf Arab yang menyatakan eksistensi-Nya di Ahadiyyah Dzat sebagai Yang Maha Esa. Setelah penauhidan oleh Diri-Nya Sendiri, maka Dia menetapkan as-Shamadiyyah-nya sebagai “Allaahush Shamad Allah tempat meminta” QS 1122. Sehingga segala sesuatunya aktual “jika dan hanya jika” semua makhluk bergantung hanya kepada-Nya sebagai harga mutlak ketidakterbatasan Diri-Nya sebagai Yang Maha Berkuasa. Ketika ayat ke-1 sampai ke-4 terucapkan-Nya secara penuh sebagai surat ke-112 atau al-Ikhlas maka 2 pasang Sifat-Nya maujud menjadi 4 sifat yaitu al-Hayyu & al-Qayyum dan Al-Iradah & Al-Qudrah. Jadi, di wilayah Ahadiyyah dan Shamadiyyah Diri-Nya dikenali oleh Diri-Nya sendiri aku “Mengenal Allah dengan Allah” demikian sabda Nabi SAW selanjutnya menegaskan hakikat penauhidan yang mampu dilakukan oleh makhluk terbatas. Dengan Allah sebagai Dzat yang secara langsung menyatakan keinginan dan kehendak-Nya dalam menampilkan Kekuasaan-Nya dalam penciptaan makhluk sebagai suatu proses, maka Allah menganugerahkan pengetahuan-Nya kepada manusia secara khusus, dan semua makhluk secara umum, dalam batasan potensinya masing-masing untuk mengenal-Nya, dan bertasbih memuja dan memuji-Nya yang dinyatakan dalam QS 591 dan QS 571-7.“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi telah bertasbih kepada Allah. Dan Dialah Maha Perkasa lagi Bijaksana. Kepunyaan-Nya lah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan. Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan sebagian dari hartanya memperoleh pahala yang besar. QS 571-7 Dari Sebuah Titik Menjadi Lingkaran Penciptaan setelah cetusan “kun fa yakuun“ dapat digambarkan sebagai pecahnya simetri kekekalan Allah untuk memperkenalkan diri-Nya dengan cara menciptakan makhluk yang menjadi citra kesempurnaan-Nya. Maujud dari al-Iradah dan al-Qudrah, hanya dipenuhi oleh bentuk titik yang berproses sebagai awal kemudian menjadi lingkaran. Bentuk demikianpun sejatinya dimaksudkan Allah untuk manusia yang mampu menggali dan memahami ilmu pengetahuan-Nya. Maksud saya, jangan beranggapan bahwa bentuk demikianlah yang hanya dimiliki oleh Allah SWT sebagai Maha Pencipta. Tidak, bukan itu maksudnya, tetapi bentuk titik yang menjadi lingkaran adalah bentuk atau format pengetahuan mendasar yang dipilihkan oleh-Nya untuk manusia yang berkecerdasan terbatas. Dan dengan demikian juga maka semua penciptaan akan didasarkan prinsip keterbatasan ini yang difirmankan Allah sebagai “sesuai dengan ukuran atau kadar”, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran QS 5449, 1521”. Hal ini akan mempengaruhi semua bentuk makhluk selanjutnya dan kita kenal kemudian sebagai kuantifikasi. Di alam semesta kita ini, bentuk titik menjadi lingkaran itulah yang telah dipilihkan-Nya karena mewakili Asma-asma dan Sifat-sifat-Nya yang terpahami oleh akal pikiran manusia. Artinya, dalam bentuk fundamental ini, baik mikro dan makro, awal dan akhir akan menutup kedirinya sendiri, artinya semuanya dari Pencipta dan akan kembali kepada Pencipta pula akhirnya. Hal ini juga menetapkan makna bahwa antara yang lahir dan yang batin seperti ditegaskan QS 573 tidak lain adalah Pencipta juga. Namun, untuk bertemunya titik awal dan akhir, yang lahir dan yang bathin, manusia sebagai makhluk yang berada dalam wadah penciptaan yang terbatas, harus mampu menyingkapkan hakikat eksoterisnya langkah-demi langkah dengan mempelajari yang terletak diantara keduanya yakni alam semesta dan dirinya sendiri manusia sebagai makhluk berakal danmampu memaknai AdaNya sebelum semua makhluk mengucapkan “ada” sebagai 141 huruf. Lantas manusia harus merubuhkan hambatan psikologisnya yaitu realitasnya sebagai makhluk fisikal yang sebenarnya adalah penjaranya atau Penjara Ghairil. by. 1 Dengan nama Allah yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih. . "Sesungguhnya Kami telah kurniakan kepadamu tujuh ayat dari ayatayat yang diulang-ulangkan bacaannya dan al-Qur'anul 'Azim" (Al-Hijr) ialah Surah al-Fatihah yang disifatkan sebagai surah yang mempunyai tujuh ayat dan sebagai "al-Mathani" kerana ia diulang-ulangkan bacaannya didalam Surat al-Fatihah tergolong surat Makiyyah yang berjumlah tujuh ayat. Surat al-Fatihah adalah surat yang paling istimewa dari 144 surat dalam Al-Qur’an. Ulama’ tafsir menjulukinya sebagai Um al-Kitaab Induknya Al-Qur’an sebab di dalam surat al-Fatihah memuat isi atau kandungan makna yang terdapat di dalam surat-surat lainnya. Syaikh hasan al-Banna dalam risalahnya “Muqaddimah al-Tafsir” yang dikutip oleh al-Sabuni mengatakan bahwa tidak ada keraguan bahwa seseorang yang berangan-angan tentang makna surat al-Fatihah maka ia akan melihat banyaknya makna yang terkandung dan keindahan surat al-Fatihah, relasi antara ayat per-ayat dapat menggetarkan serta menerangi hatinya. Al-Fatihah dibuka dengan membaca Basmalah yang tujuannya ialah mengharapkan suatu kebaikan, Bismillah disifati dengan al-Rahmah yang telah berlimpah rahmat Allah terhadap segala sesuatu. Sehingga, ketika seorang hamba telah merasakan makna yang terkandung serta menetapkannya dalam hati maka lisannya akan mengatakan pujian pada Allah swt. Ali al-Sabuni, 1997 22. Tafsir Surat al-Fatihah Alhamdulillahi Rabbil Alamin Dalam hal ini Allah swt memberi didikan kepada hamba-Nya tentang bagaimana cara untuk memuji dan mensucikan Allah dari hal-hal yang menyerupai-Nya. Menurut Syaikh Ali al-Sabuni, maksud dari potongan ayat ini yaitu ketika seorang hamba ingin bersyukur dan ingin memuji kepada Allah maka, ucapkanlah “Alhamdulillah”. Allah adalah dzat yang maha agung, maha mulia dan maha menguasai, yang berbeda dengan mahluk. Oleh sebab itu, pujian dan syukur hanyalah kepada Allah bukan pada selain Allah Ali al-Sabuni, 1997 22 Arrahmaanirrahiim Syaikh Abdul Latif dalam “Awdah al-Tafasir” menyatakan kasih sayang Allah al-Rahman meliputi terhadap semua mahluk-Nya sementara al-Rahim hanya dikhususkan bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Kedua kalimat tersebut merupakan asma’ dan sifat Allah swt yaitu menetapkan sifat kasih sayang sesuai dengan keagungan-Nya. Abdul Latif, 1964 17 Maaliki Yaumiddiin Allah adalah dzat yang maha suci, yang maha merajai dan menguasai hari pembalasan dan hari di mana para manusia di hisab amalnya. Sebagaimana seorang raja yang mengatur kerajaannya. Iyyaaka Na’budu Waiyyaaka Nasta’iin Seorang hamba harus melaksanakan ibadah hanyalah kepada dan karena Allah, serta hanya kepada-Nya seorang hamba meminta pertolongan. Allah melarang seorang hamba untuk menyembah selain-Nya. Sehingga, di hadapan Allah seorang hamba harus merasa hina, rendah, tentram dan khusyu’. Al-sa’di memberikan penjelasan yang menarik dalam tafsirnya mengenai potongan ayat ini. Menurutnya, ibadah itu di dahulukan dari pada meminta pertolongan “Istianah”, hal ini termasuk bagian dari bab mendahulukan sesuatu yang umum dari pada yang khusus, serta sebagai bentuk perhatian dengan cara mendahulukan hak Allah dari pada hamba-Nya yaitu dengan lebih mendahulukan ibadah. Baru kamudian disebutkan “meminta pertolongan”. Lalu, apa itu ibadah? Ibadah adalah suatu istilah yang digunakan untuk setiap sesuatu yang Allah cintai dan Allah ridhai dari amal seorang hamba, juga mencakup perkataan-perkataan baik secara batin atau dhahir. Sementara “Istianah” atau meminta pertolongan yaitu bersandar diri kepada Allah dalam menarik atau menerima suatu kemanfaatan dan menolak kemudharatan, yang disertai dengan sikap optimis untuk mendapatkannya. Al-Sa’di, 2000 39 Beliau juga mengatakan bahwa ibadah dan meminta pertolongan kepada Allah adalah wasilah untuk menuju kebahagiaan yang abadi, selamat dari segala kejelekan, sehingga tidaklah seorang hamba selamat kecuali dengan keduanya. Sementara tujuan lain disebutkannya “Ibadah” sebelum lafal “Istianah” maka karena butuhnya seorang hamba terhadap pertolongan Allah swt untuk melakukan segala ibadahnya. Tanpa pertolongan Allah maka, seorang hamba tidak akan bisa merealisasikan perintah dan menjauhi larangan Allah swt. Ihdinash Shiraathal Mustaqiim Pada potongan ayat ini mengandung do’a yakni agar seorang hamba meminta kepada Allah petunjuk untuk menuju jalan kebenaran, agama Allah yang lurus, agar ditetapkan dalam agama Islam yang di dalamnya diutus para Nabi dan Rasul dan mengutus Nabi Muhammad saw sebagai Nabi terakhir, serta agar dijadikan sebagai orang yang berjalan di jalannya orang-orang yang dekat dengan Allah swt. Al-Sabuni, 1997 19 Shiraatal Laziina an Amta Alaihim Yaitu jalannya orang-orang yang diberikan keutamaan oleh Allah swt dari kemuliaan dan kenikmatan, baik dari Nabi-Nabi, orang-orang yang benar, para syuhada’, para orang shaleh. Ghairil Mauduu bi Alaihim Walad Dzaaalliin Dalam tafsirnya, Imam al-Maraghi menyatakan bahwa terdapat dua golongan yang tidak mendapat nikmat dari Allah swt. Golongan pertama ialah mereka yang keluar dari kebenaran setelah mengetahuinya, melenceng setelah mendapat kejelasan dan mereka yang ridha terhadap warisan dari ayah-ayah dan kakek-kakeknya yang terdahulu Yahudi dan Nasrani. Golongan kedua adalah mereka yang tidak pernah mengenal kebenaran selamanya atau mengenal namun tidak ada kejelasan, dalam artian mereka dalam kesesatan, mencampur kebenaran dan kebatilan, serta jauh dari jembatan yang dapat mengantarkannya kepada jalan yang lurus, maka, mereka adalah orang-orang yang dzalim. Al-Maraghi, 1946 24 Kesimpulan Melalui tafsir al-Fatihah di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wujud ibadah yang sejati akan terlihat pada diri seorang hamba apabila ia melakukannya dengan tulus yakni melakukan ibadah hanya karena Allah serta menjauhi segala sesuatu yang dilarang-Nya. Ibadah yang demikian merupakan ibadah yang berhasil bagi seorang hamba untuk membangun kedekatan kepada Allah swt. Dengan mendekatkan diri kepada Allah maka, akan melahirkan kedamaian dan kebahagiaan serta kemudahan dalam menghadapi segala persoalan yang rumit. Kemudahan-kemudahan tersebut akan dirasakan oleh diri seorang hamba dengan memahami Iyyaka Na’budu dan Iyya Kanastain secara profesional dan penerapan pemahaman yang tepat proporsional terhadap makna Iyya Kana’budu dan Iyyaka Nastain pada diri seorang hamba dalam menjalani kehidupannya, sehingga akan meluruskan ni’at dan tujuannya. Dengan ni’at dan tujuan yang lurus, akan memperjelas seorang hamba untuk melakukan segala aktivitasnya selama di dunia sebab ia mengawali aktivitasnya dengan Bismillah dan hasilnya selalu diucapkan dengan Alhamdulillah. Kedua ucapan tersebut sebagai bentuk pemenuhan seorang hamba kepada Allah. Tafsir surat al-Fatihah di atas dapat dijadikan solusi bagi seorang hamba dalam segala persoalan bahwa kedamaian dapat terwujud bila pemahaman surat al-Fatihah di atas diterapkan secara profesional dan proporsional. Kedamaian tersebut dapat terwujud karena kedekatannya kepada Allah swt. 13Rukun Shalat sesuai Tuntunan Rasulullah. Allah Subhanahu Wa Ta'ala menciptakan manusia di bumi ini adalah untuk beribadah kepada-Nya, sehingga perlu mengetahui rukun dari setiap ibadahnya. Sudah sangat jelas di dalam Al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah hadiahal-Fatihah, dalam tradisi keagamaan NU, adalah sebagai berikut: 1. Nabi Muhammad SAW 2. Sahabat-sahabat Nabi SAW yang, berdasarkan hadits mutawatir, dijamin masuk sorga tanpa hisab (al-Mubasysyarin bi al-Jannah) 3. Para istri, anak dan cucu-cucu Nabi SAW 4. Sahabat-sahabat Syuhada' Badar dan Uhud 5. Imam-imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, BagiNabi Muhammad SAW, lanjut Ustadz Adi, keringanannya itu ialah 100 ayat Surah Al Baqarah, atau 10 hingga 11 ayat terakhir surah Ali Imran yang dibaca dalam satu rakaat. "Jadi ukuran ringannya
Adapunyang dinamakan : PAHAM AL-FATIHAH, itu sebagai berikut 1. ALHAMDU LILLAHI, RABBIL 'AALAMIIN : Hakekat Pujian Untuk Manusia. Serta dalam tubuh ini ada Ruh,hati,akal dan nafsu. Yang kesemuanya itu tergolong alam yang disebut alam sagir (alam kecil).Yang kesemuanya itu terjadi dari unsur2 api,angin,air dan tanah/bumi.

Dikalangan umum, surah ini dikenal dengan nama Surah Al-Hamdu.Karena Al-Quran diawali oleh Surah ini, maka Surah ini pun dinamai Fâtihatul Kitâb yang artinya pembuka kitab. Kedudukan penting surah yang tak memiliki lebih dari tujuh ayat ini, cukup tergambar di dalam kenyataan bahwa diwajibkan dalam sehari semalam atas kita untuk membacanya dua kali di dalam setiap salat yang kita lakukan

Pengertianini selain dalam surat Al-Fatihah terdapat pula di dalam firman-Nya: "Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan" (Hud: 123). "Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal" (Al-Mulk 29).

5TgkT.
  • lma4fao4ih.pages.dev/224
  • lma4fao4ih.pages.dev/43
  • lma4fao4ih.pages.dev/92
  • lma4fao4ih.pages.dev/526
  • lma4fao4ih.pages.dev/17
  • lma4fao4ih.pages.dev/997
  • lma4fao4ih.pages.dev/371
  • lma4fao4ih.pages.dev/441
  • lma4fao4ih.pages.dev/105
  • lma4fao4ih.pages.dev/522
  • lma4fao4ih.pages.dev/426
  • lma4fao4ih.pages.dev/748
  • lma4fao4ih.pages.dev/620
  • lma4fao4ih.pages.dev/449
  • lma4fao4ih.pages.dev/183
  • hakikat al fatihah dalam tubuh